Benteng Keraton Yogyakarta
- 02-10-2017
Kota-kota kerajaan di pulau Jawa tidak dapat dipisahkan dari benteng. Demikian juga kota-kota kerajaan pada masa Mataram Islam. Semua ibukota kerajaan Mataram Islam mulai dari Kota Gedhe, Plered, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta memiliki tembok pertahanan yang mengelilingi keraton. Bahkan dalam bahasa sansekerta, kata kota memiliki makna yang sama dengan benteng.
Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok. Lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton. Tembok berikutnya jauh lebih luas dan kuat, disebut dengan tembok Baluwarti, atau lebih sering disebut hanya sebagai Beteng. Selain kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng.
Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata baluarte dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. Persamaan ini membuat Denys Lombard, seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis. Hal ini masuk akal mengingat pembangunan tembok Baluwarti memiliki masa yang sama dengan pembangunan Tamansari yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis.
Tembok keliling tersebut didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), pendiri Kasultanan Yogyakarta. Bentuknya mirip persegi empat, namun lebih besar bagian timur. Benteng keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1200 meter, sedang arah utara ke selatan 940 meter. Benteng di sisi timur keraton diperpanjang ke utara sejauh 200 meter, karena di sana terletak kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Tempat tinggal putra mahkota ini dikenal juga sebagai Istana Sawojajar.
Pada sisi luar benteng terdapat parit yang dalam dan jernih airnya. Parit itu disebut jagang, sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng.
Pada awalnya benteng ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu. Lalu diperkuat lagi hingga memiliki ketebalan dua batu (lebih kurang 55 cm) dengan longkangan selebar 2,4 meter yang diurug dengan tanah hasil galian jagang. Tinggi urugan 3,7 meter dari permukaan tanah awal. Longkangan tersebut digunakan sebagai pelataran benteng bagian dalam di mana prajurit dapat berjaga. Dari pelataran ini tinggi benteng dinaikkan lagi 1,5 meter. Sedang dinding benteng dibuat dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah.
Ilustrasi denah benteng Keraton Yogyakarta
Terdapat lima gerbang dengan pintu melengkung sebagai sarana keluar masuk benteng. Di atas gerbang terdapat pelataran yang dinamakan panggung. Pintu gerbang benteng ini disebut Plengkung atau Gapura Panggung. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga dan empat buah longkangan sebagai tempat meriam.
Kelima plengkung yang mengelilingi benteng itu adalah Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Plengkung Madyasura kadang disebut juga sebagai Plengkung Tambakbaya.
Pada tiap plengkung terdapat jembatan gantung. Jembatan ini dapat ditarik ke atas sehingga plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula plengkung-plengkung ini terbuka dari jam enam pagi sampai enam sore. Jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi dari jam lima pagi sampai jam delapan malam, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.
Desain benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya, terutama tampak pada gerbang-gerbang yang tersebar dalam segala penjuru. Dalam merancang benteng ini, Pangeran Mangkubumi nampaknya belajar banyak dari jatuhnya ibukota Mataram-Kartasura ke tangan pemberontak pada peristiwa Geger Pacina/Perang Cina (1740-1743). Dalam peristiwa tersebut, pasukan pemberontak Cina dan Jawa bergabung melawan VOC, mereka menyerbu dan merebut Keraton Kartasura karena memandang bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) memihak VOC. Ditilik dari modelnya yang mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar benteng keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh patih kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno, selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an.
Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu, merupakan bagian paling akhir yang diselesaikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Benteng ini selesai dibangun pada tahun Jawa 1706, atau tahun 1782 Masehi. Pembangunan benteng dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika Bupati Madiun yang kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Sri Sultan Hamengku Buwono II masih memperkuat lagi benteng keraton pada masa pemerintahannya. Ia merasa bahwa ketegangan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin meningkat dan peperangan akan segera terjadi. Sultan kemudian memanfaatkan kehadiran rombongan pekerja yang datang saat acara Garebeg Puasa untuk memperkuat pertahanan keraton. Pada 13 November 1809, keempat sudut benteng dibuat menonjol keluar.
Keempat sudut benteng ditambah dengan bangunan baru sehingga berwujud segi lima. Pada ketiga sudut yang menjorok keluar diberi semacam sangkar sebagai tempat penjagaan yang disebut sebagai bastion. Bentuknya seperti tabung dengan lubang-lubang kecil untuk mengintai. Pada dinding antar bastion diberi longkangan sebanyak sepuluh buah sebagai tempat memasang meriam. Bangunan baru itu disebut juga sebagai Tulak Bala, kini lebih dikenal dengan sebutan Pojok Beteng, atau kadang disingkat sebagai Jokteng.
Salah satu sudut benteng ini kemudian hancur saat Geger Sepehi pada tanggal 20 Juni 1812. Bala tentara Inggris yang saat itu menguasai Jawa menyerang Keraton Yogyakarta. Mereka berhasil meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut. Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura ditutup secara permanen sebagai bagian dari strategi pertahanan, setelah sebelumnya pihak Keraton Yogyakarta mendengar bahwa pasukan musuh berencana masuk melalui plengkung tersebut.
Pintu masuk ke dalam benteng di sisi timur baru dibuka lagi tahun 1923 dengan dibongkarnya Plengkung Madyasura atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono VIII ini pula plengkung tidak pernah lagi ditutup. Bahkan demi memperlancar lalu lintas, Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya dirombak menjadi gapura terbuka.
Pojok Beteng Kulon
Saat ini sebagian besar benteng telah tertutup oleh pemukiman. Tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalau pun ada hanyalah selokan di sisi Pojok Beteng. Tidak diketahui dengan pasti kapan bangunan benteng dan jagang tertutup oleh pemukiman. Namun ada dua peristiwa besar yang dapat ditilik sebagai acuan, gempa bumi tahun 1867 dan pendudukan Jepang (1942-1945).
Gempa bumi tahun 1867 membuat kerusakan cukup parah di kota Yogyakarta. Banyak rumah rusak, termasuk rumah para Abdi Dalem. Didorong oleh rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) memperkenankan para Abdi Dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara. Rupanya kebijakan ini berlanjut terus sampai dengan keturunan-keturunan dari Abdi Dalem yang bersangkutan.
Hal yang sama terjadi pada masa pendudukan Kerajaan Jepang. Di mana-mana rakyat ketakutan dan mencari perlindungan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian memutuskan untuk menampung mereka di sisi dalam dan sekitar benteng. Keadaan ini tetap dibiarkan bahkan ketika masa pendudukan Kerajaan Jepang berakhir. Dalam perkembangannya, pemukiman ini kemudian merusak benteng yang ada. Ditemukan pemilik rumah yang menempel sisi benteng mengeruk dinding benteng untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi rumah mereka. Ada juga yang menjebol tembok benteng untuk menciptakan akses keluar masuk. Hal ini membuat beberapa bagian benteng tidak lagi terlihat sisanya dan sepenuhnya tertutup oleh pemukiman.
Dari lima buah plengkung, hanya tersisa dua yang masih utuh berbentuk gerbang melengkung, yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing. Bangunan Tulak Bala yang masih utuh adalah Pojok Beteng Wetan (tenggara), Pojok Beteng Kulon (barat daya), dan Pojok Beteng Lor (barat laut). Sisa tembok benteng yang masih utuh hanya dari Plengkung Gading ke timur sampai dengan Pojok Beteng Wetan. Persis di sebelah timur Pojok Beteng Kulon, dibuka jalan lengkap dengan lampu pengatur lalu lintas sehingga pintu keluar masuk benteng bertambah.
Bagian dalam Pojok Beteng Wetan
Pengunjung yang berminat masih bisa menikmati bagian-bagian tembok pertahanan Keraton Yogyakarta. Tiga Pojok Beteng yang tersisa terbuka untuk umum, dapat dikunjungi melalui tangga yang terdapat pada sisi dalam benteng. Pintunya terbuka dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Begitu juga Plengkung Nirbaya, pengunjung dapat naik ke atasnya melalui tangga di kiri kanan sisi dalam plengkung. Dari situ, pengunjung bisa berjalan menyusuri benteng sampai dengan Pojok Beteng Wetan.
Dari masa ke masa, benteng keraton telah menjadi saksi bisu bagi perkembangan kota Yogyakarta. Secara fisik posisinya tidak pernah berubah, namun secara sosial ia melambangkan perubahan yang terjadi. Benteng yang awalnya menjadi pemisah tegas antara keraton dengan dunia di sekelilingnya, kini terbuka bagi rakyat yang bernaung di dalamnya.